Di jalan dakwah kita bisa mengenakan identitas yang sama. Di jalan
dakwah kita bisa dikenali lewat seragam dan tampilan-tampilan luar
kita.
Mengenali tampilan fisik memang lebih mudah. Itulah sebabnya, kita pun
sering salah menilai. Padahal, jika kita menelisik lebih dalam, mereka
yang 'berseragam sama' menyimpan kualitas diri yang berbeda. Di jalan
dakwah ada yang berdarah-darah, tapi ada pula yang bersikap masa bodoh.
Di jalan dakwah ada yang berkorban habis-habisan, tapi ada pula yang
sedikit pun telah terasa berat ditanggungkan.
Seseorang memang bisa mengenakan seragam Timnas kita, lengkap dengan
nomor punggung dan nama pemain. Akan tetapi, jika ia berdiri di tribun,
berteriak sekencang apapun, ia tetaplah penonton dan bukan pemain. Saya
sering merasa sedih, jangan-jangan saya tak lebih dari sekedar penonton
dan bukan pemain di jalan dakwah ini. Orang mengenal saya sebagai pegiat
di jalan dakwah, tetapi kenyataannya saya bermental penonton saja.
Salah satu ciri 'mental penonton' adalah masa bodoh. Mereka bersorak di
luar lapangan, tapi minim kontribusi dalam pertandingan. Apakah tidak
penting keberadaan penonton? Tentu saja penting. Tapi di jalan dakwah
kita semestinya bersikap sebagai pemain. Keterlibatannya optimal.
Pengorbanannya juga maksimal. Seringkali frekuensi kita dengan sesama
ikhwah tidak sama. Sebagian orang sudah berlari, kita masih santai
berdiam diri. Banyak orang sudah bergerak, kita masih berdiri tegak.
Kenapa? Wallahu a'lam. Lebih baik kita menelisik diri sendiri. Jangan
sampai kita menjadi 'toxic cadre' -- kader-kader beracun
dan bermasalah. Hilang orientasi, lemah kontribusi. Maka, baik kiranya
jika kita memperluas acuan. Di luar diri kita ada banyak ikhwah yang
penuh keterbatasan, tapi berkorban sepenuh jiwa raga.
Ada guru SDIT yang menyanggupi perbulan 200 ribu untuk pemenangan
dakwah. Kita bisa bertanya-tanya berapa gaji yang beliau dapatkan?
Berapa yang masih tersisa setelah dikurangi 200 ribu itu? Sementara kita
memberi dua ratus ribu yang sama terasa berat dan sudah menganggap
besar. Padahal, income yang diperoleh jauh lebih besar dibanding sang
guru itu. Kita sering bersikap masa bodoh, tapi sang guru itu punya
keyakinan lain: Allah ta'ala pasti sangat peduli.
Kisah-kisah lain yang dapat dijadikan acuan saya kira banyak. Kenali dan
simak dengan seksama agar kita memiliki frekuensi yang sama dalam
berjuang dan berkorban. Orang boleh menuduhkan banyak hal tentang dana
dakwah kita, tapi kita sangat paham bahwa dari kantong-kantong kitalah
dakwah ini dihidupi. Menyimak pengorbanan banyak ikhwah yang ikhlas itu,
rasa-rasanya kita perlu menelisik seberapa besar kita telah berkorban.
Jika kita menganggap bahwa yang kita lakukan telah optimal,
jangan-jangan kita hanya kurang acuan saja? Masih banyak ikhwah yang
jauh lebih lelah di jalan dakwah. Jika uang yang diinfakkan di jalan
dakwah ini telah dianggap banyak, jangan-jangan karena kita kurang
referensi saja. Ada banyak ikhwah yang berkorban maksimal di tengah
keterbatasan dirinya.
Teringat kita pada Ulbah bin Zaid, salah seorang dari tujuh sahabat yang
datang kepada Rasulullah sambil menangis. Al Bakka'un, sebutan tujuh
orang itu. Mereka datang hendak meminta kendaraan agar bisa turut serta
dalam Perang Tabuk. Sayang permintaan itu tak terpenuhi sebab beliau
tidak memiliki sesuatu yang dapat membawa mereka. Mereka kembali sambil
berlinang air mata.
Malam harinya Ulbah bin Zaid berdoa, "Ya Allah, Engkau telah
memerintahkan berjihad maka akupun mencintainya. Kemudian Engkau tidak
jadikan untukku apa yang menguatkanku dalam jihad ini, dan Engkau juga
tidak menjadikan pada Rasulullah kendaraan yang dapat membawaku dalam
jihad ini. Dengan ini aku bersedekah terhadap setiap muslim dengan
kedzaliman mereka yang menimpaku baik pada harta, jasad, dan
kehormatan."
Pagi harinya, tatkala ia bersama sahabat lain, Rasulullah bertanya,
"Dimanakah orang yang bersedekah semalam?" Tapi tak seorang pun berdiri.
Rasul kembali bertanya dan berdirilah Ulbah bin Zaid. "Bergembiralah,"
kata Rasulullah, "Sedekahmu telah diterima."
Kisah tentang Ulbah bin Zaid adalah kisah tentang kepedulian di jalan
dakwah. Lelaki dari Bani Haritsah itu tidak memilih untuk bersikap masa
bodoh. Di tengah keterbatasannya, ia ingin berkiprah. Tangis Ulbah bin
Zaid adalah tangis kepedulian di jalan kebenaran. Tak mengherankan jika
Allah abadikan kisahnya dalam Al-Quran surah at-Taubah ayat 92. Hari ini
kita memperlajarinya.
Di jalan dakwah, ada banyak yang bersikap masa bodoh, tapi yakinlah bahwa Allah sangat peduli.
Judul : Di Jalan Dakwah: Ada yang Masa Bodoh, Tapi yakinlah Allah Sangat Peduli
Deskripsi : Di jalan dakwah kita bisa mengenakan identitas yang sama. Di jalan dakwah kita bisa dikenali lewat seragam dan tampilan-tampilan luar ...